Rabu, 20 Juli 2011

Selamat Tinggal Pangeran Terindahku ~


Dia tidak memberiku kesempatan untuk menolak sebuah rasa, hingga sesuatu tak berwujud itu hadir dihatiku.
Cinta~
Aku disini..
Bersama air hujan yg meledek tangisanku. Mungkin baginya air mataku terlalu murahan. Tidak seperti airnya yg bisa menyejukkan hati seseorang.
Pedih.. seperti itulah yg dikatakan hatiku saat melantunkan nada kesedihan melalui air mata. Teriakannya pun sampai tak terdengar, tapi terasa. Sakit.. bahkan sangat sakit. Seperti menghadapi belati yg menantangku untuk berperang.
Rasanya bernafas pun sulit.
Masih kuingat ketika anak tangga yg berjumlah lebih dari banyak kunaiki satu persatu dan terus melangkah hingga lantai tertinggi dari sebuah bangunan yg ditinggali oleh sosok yg lebih dari indah bagiku. Dia menginginkan kehadiranku yg sudah meninggalkannya lebih dari itungan minggu.
Saat aku berhasil berdiri di sebuah pintu, ada sebuah dentuman bom didadaku yg sulit kuhentikan agar terjaga lebih tenang. Detakan yg sangat agresif. Kuberanikan diri untuk mengalirkan ketukan jariku dibalik pintu. Sudah lebih dari beberapa ketukan, tidak ada tanda-tanda pintu yg memelototiku dari tadi itu akan terbuka. Lalu aku berkenalan dengan sebuah kursi yg mempersilahkanku untuk duduk diatasnya. Baiklah.. aku menunggu.
Dengan kelopak mata berat, aku yg tidak bisa memejamkannya sejak gelap hingga terang itu masih terus menunggu kedatangan lelaki yg selalu memberi hatiku sarapan dengan ribuan tusuk belati, dan berbekas. Meski manisnya begitu ramai memenuhi hatiku, tapi pahitnya lebih menjuarai.
Terdengar ketukan sepatu yg menghampiri dudukku dari anak tangga. Dia berdiri dihadapanku dengan senyum tak berdosa, seketika bibir yg sudah sangat kukenal itu mendarat dikeningku. DEG! Jarum jam menghentikan detaknya. Aku luluh kembali ~
Kembali melewati detik-detik yg sangat indah diantara semua buaian kesakitan. Dengan jutaan janji yg disemaikan olehnya, aku berusaha membangkitkan rasa yg disebut percaya. Sulit.. tapi panah itu masih berpihak padanya. Saat itu.. Bukan indah lagi yg terasa dibalik dadaku, tapi dihangatkan kembali olehnya.
Ternyata janji hanyalah sebuah kristal yg bisa dipecahkan kapan saja. Dia PECAH! hingga hatiku pun dipecahkan menjadi puzzle yg kembali sulit untuk disusun, lagi. Tanpa mengakui, lelaki yg sekian lama telah terlentang dihatiku itu mengulangi hal yg paling mendamprat hatiku. Selingkuh.
Kesakitan itu merajai bagian terkecil hingga terbesar di sekujur hatiku, lagi.
Antara mempertahankan cinta dan kesakitan.
Kupu-kupu saja tidak sanggup bertahan jika sayapnya dicabik-cabik, bagaimana dia bisa terbang? Begitupun aku.
Dengan cinta yg masih berkobar dan terlalu besar jika ku ukur, aku terjatuh dari surga ke neraka. Apinya membakar hatiku tanpa abu. Tidak habis, terus terbakar. Dia kembali mengenalkan air yg sudah bersahabat denganku selama ini, air mata. Bersamaan dengan tubuhku yg akhirnya terkapar lunglai di sebuah UGD. Dia menyakitiku disaat yg tidak tepat. HANCUR.
Aku kembali melepasnya. Meski ribuan kata maaf yg diucapkannya terus-menerus mengikutiku, meski air mata yg juga dialirkannya terus dan terus memaksaku untuk tidak meninggalkan sosok indah itu, meski suaranya selalu mengucap “Tidak ada yg bisa menggantikan kamu”. Tidak. Tidak bisa lagi aku mengangguk.
Aku pergi. Jauh dan menjauh. Dengan kepedihan yg mengasuhku untuk terus beruraian air mata. Dengan fikiran yg tidak bisa menolak untuk mengingat semua kenangan yg pernah kulalui dengannya. Aku terus menangisi luka. Luka itu seperti sayatan tajam dari pecahan beling, seperti menusukkan belati yg sudah fasih diasah dan menancap hatiku ke bagian terdalam.
Hati berperang dengan logika. Meski yg disebut cinta itu hanya tertuju padanya. Tapi sebuah keharusan aku melepasnya. Melepaskan lelaki yg ku cita-citakan menjadi imam ku, demi menyelamatkan hatiku. Sungguh.. Lebih dari hancur.
Aku terkapar diatas paku tajam, tenggelam dalam tangisan.
Selamat Tinggal Pangeran Terindahku..
Pangeran terindahku ternyata seorang penyihir jahat. Kisah PUTRI TIDUR impianku berakhir dengan luka.
Menulis ini pun sambil mengingat luka itu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar